Senin, 20 Oktober 2014

Asa berbungsus kata


Asa berbungsus kata

Presidenku presiden kita
Singgsana kau duduki
Jabatan yang kau kehendaki melalui suaraku suara kita
Suara anak bangsa menggema melewati tanjakan , meliuk pada tikungan
Menerabas ngarai dan lembah, menyeberangi samudera
Terik menyengat kuat, angin badai mengamuk, gelombang menghempas
Tapi suara terus melaju melawan kekuatan rintangan
Dan, tibalah suraku suara kita bertemu . berpadu  menjadi asa
Selesailah tugas suaraku suara kita
Kini, tinggal kepasrahan dalam doa
Menanti perubahan asa dalam kata menjadi asa kasat mata
Bukan suara dibalas suara

Rabu, 30 April 2014

PEMILU


PEMILU DALAM KEHIDUPAN BERDEMOKRASI
Oleh: Abd. Jafar M. Nur

Jika kita hanya mengotak-ngatik makna kata dalam bahasa, maka kita tidak akan menemukan sesuatu yang kasat mata sebagai sebuah hasil karya (bukan lambang). Karena itu, judul di atas menekankan pada proses bukan maknanya. Pemilu adalah proses. Kehidupan pun demikian, dan berdemokrasi juga sebuah proses dengan ruang dan waktu masing-masing. Pemilihan Umum (pemilu) merupakan kegiatan politik untuk menentukan siapa yang bakal menentukan kebijakan pemerintahan dan atau siapa yang akan berkuasa atas suatu pemerintahan yang akan mengatur, memelihara, dan meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat. Di dalamnya terdapat corak kehidupan, interaksi antarsesama dan interaksi dengan lingkungan yang hidup dalam suatu sistem  yang dipilih sebagai kesepakatan nasional yaitu demokrasi. Dengan kata lain, Negara Demokrasi.
Hampir semua Negara di dunia ini memilih pola hidup berdemokrasi, maka pemilihan umum sebagai proses politik Negara melalui sistem kepartaian sebagai mesin penentu rodaputar kehidupan warganya termasuk Negara tercinta ini,” Indonesia.” Perjalanan kehidupan berpola demokrasi ini telah sama-sama kita nikmati. Suka-duka, pahit-getir dengan neraca masing-masing individu yang memegang hak dasar sebagai warga Negara dapat dipastikan telah memegang kata kunci yang melekat pada diri. Dan, akan menjadi pegangan yang tidak dapat dikutak-katik oleh yang lainnya untuk digunakan dalam penentuan pilihan disetiap pemilihan umum tiba. Sebenarnya di Negara kita tercinta ini, interaksi demokratis semakin membaik. Hal tersebut dapat dilihat ketika pesta demokrasi tiba, seluruh warga Negara yang memiliki hak pilih datang berbondong-bondong menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebagai penjelmaan dari pola demokrasi “dari.” Mereka duduk-duduk atau sambil berdiri santai dengan hati berbunga-bunga, membungkus kata hati, menyimpan rahasia pilihan.ketika itu berakhirlah demokrasi dari, yang akan berlanjut menanti datangnya demokrasi “oleh.” Manakala nama dipanggil oleh petugas , mereka mengayun langkah menuju bilik suara tempat terakhir kerahasiaan mereka akan tercurahkan. Memilih sesuai pilihan yang selama ini tersimpan rapi. Setelah surat suara dimasukan ke dalam kotak suara, maka berakhirlah demokrasi oleh. Dengan penuh keyakinan atas pilihannya akan lebih unggul dari yang lainnya, mereka lalu pulang ke alamat masing-masing membawa kata hati dalam harapan terhadap kehidupan yang lebih gemilang di hari esok, menandai proses awal dari demokrasi “untuk.” Mereka menyadari bahwa apa yang mereka lakukan hanya sebagai bentuk partisipasi dalam menegakkan demokrasi.
Dengan demikian, warga Negara Indonesia yang telah memiliki hak memilih bukan berarti komunikasi terputus sampai di sini, melainkan mereka akan menanti buah dari pilihannya itu. Malahan, nilai pemilihan berada setelah proses tersebut terlaksana. Nilai yang humanistic memang melekat pada setiap personal sehingga demokrasi untuk selalu memiliki sifat ketergangtungan. Artinya, tenggang waktu dalam proses demokrasi untuk itu sangat ditentukan oleh nilai humanistic penentu kebijakan atau pemegang kekuasaan sesuai dengan pilihan kita tadi. Jika sepak terjang setiap personal penentu tadi, baik penentu kebijakan maupun pemegang kekuasaan secara bersama-sama bertanggung jawab terhadap amanat rakyat yang diberikan melalui demokrasi dari, oleh, dan untuk tadi akan berjalan sesuai saluran irigasi yang telah dibangun sebelumnya. Kondisi inilah yang mewarnai dinamika  kehidupan masyarakat. Dan, disini pula terjadi proses pendidikan politik tumbuh dan berkembang (berkehidupan) masyarakat yang akan menjelmakan nilai raport terhadap pilihannya tadi.
Kehidupan bermasyarakat dalam konteks politik berlangsung secara bersamaan menggandeng nilai materiil dan moral spiritual yang akan melahirkan dan memvonis pilihannya dalam pernyataan baik-buruk.  Penilaian baik diberikan apabila rasa aman dan pemenuhan kebutuhan hidup dirasakan tidak melilit, demikian sebaliknya. Ketika segala aspek kehidupan tak mampu lagi bersembunyi seperti saat ini, maka sering terjadi sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya akan menjelma di hadapan kita secara tak terduga. Seperti apa yang dicontohkan oleh kenyataan sekarang. Kendati pilar star demokrasi itu mengacu pada prinsip trias politica yaitu Legesltif, Eksekutif, Yudikatif, seperti tak mampu bernapas lagi. Tumpuan harapan pemilih berada di lembaga ini yang sekarang telah ditaburi putih telur oleh oknumnya sendiri. Predikat, baik, terhormat, bermartabat, ada lagi sebutan yang mulia, kata-kata pilihan dalam makna yang selalu kita banggakan. Sekarang makna itu malu bergandengan dengan jasadnya. Entah di mana dia bersembunyi. Atau kapankah makna itu dapat bernesrah kembali? Panggung demokrasi datang lagi sebentar. Pemilih harus selektif. Menempatkan suara jangan terpedaya. Pengalaman telah berbicara. Tampan wajah tak lagi berdaya. Indah tutur hanya gema. Ada janji pemikat. Bahkan, bingkisan beterbangan tanpa sayap hinggap dimana-mana.
Oleh sebab itu, pemilih jangan golput. Ini sebuah perjalanan jauh yang lintasannya masih dalam rekaan. Yang jelas, di alam fana ini tak ada keabadian. Semuanya pasti berakhir. Roda selalu berputar. Semulus-mulus jalan raya berhotmex, getaran pasti terasa. Kita tidak boleh berputus asa, karena suka dan duka selalu bergantian. Ketika korupsi, kolusi, nepotisme menghantui wajah negeri, ratapan anak pertiwi menjadi hiasan berdaki, dan kita menaruh harapan pada tangan hukum untuk memborgol. Tapi, kekuatan genggamannya pun tak lagi mampu untuk melawan otot yang lebih dahulu terbentuk. Tangan hukum tak menjangkau. Anak pertiwi terus meratap, mengiringi waktu yang terus merayap. Kini, Komisi Pemberantasan Korupsi berkeinginan serius maju sambil memikul segudang bukti. Namun, bukti pun masih membutuhkan saksi, sementara waktu tak pernah berhenti. Nilai kebenaran begitu mahal. Nilai kejujuran apalagi. Tidak usah kita bicarakan  keadilan, karena indikatornya yang dinamis. Nilai  kebenaran, kejujuran, dan keadilan yang semakin gelap yang menghadang laju siraman yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat hilir. Lalu, adakah yang merasa tersinggung ketika tiba waktunya nanti terbaca penilaian kaum duafa melalui hasil pesta demokrasi 2014? Penulis berpendapat, kita harus  merasa puas karena suatu kekuatan pondamental sebagai hak dan kewajiban yang tak bisa dikutak-katik (kehidupan berdemokrasi) yang bertanggung jawab dapat berlangsung dengan baik, tertib, aman, serta langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber). Pada saat itulah kita semua digiring untuk belajar menerima sebuah kenyataan yang mungkin berada di luar keinginan kita sendiri (kehidupan berdemokrasi yang beretika).
Mengingat kedaulatan rakyat jauh lebih besar dari pada kedaulatan yang lainnya, maka seyogyanya ketiga lembaga Negara (Eksekutif, Yudikatif, dan Legeslatif) dapat merakit demokrasi kepemimpinan yang menyeluruh sehingga pelayanan public lebih optimal. Demokratisasi kepemimpinan yang dimaksud akan mampu menjadi bahan pengawet dan sekaligus menjadi payung penyejuk manakala public berinteraksi dengan ligkungan. Dan, juga sebagai bentuk kesungguhan penguasa dalam memenuhi hajat hidup orang banyak sesuai undang-undang yang berlaku. Keterbukaan zaman saat ini mengharuskan penguasa bukan saja pada peningkatan pelayanan, tapi sudah harus menjurus pada peningkatan kualitas. Pelayanan tidak semata-mata untuk menghilangkan rasa lapar, akan tetapi pendistribusian pelayanan sudah harus menimbang berbagai multivitamin sebagai kapsul konsumtif. Hal tersebut bukan suatu keanehan, karena arah laju pemerintahan demokrasi adalah peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai langkah awal dalam upaya menjadikan bangsa yang lebih bermartabat.
Andaikan kita tulus dan mau menegok ke belakang terhadap kerja dan kinerja Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang juga terdiri atas Tokoh-tokoh politik, pemimpin sejati yang ditandai oleh hasil sidang-sidang yang nyaris sempurna. Tak terlihat argumentasi egois. Mereka selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (rakyat). Argumentasi egois hanya untuk kepentingan lahir sebuah negara, nusa dan bangsa.
Jadi, demokrasi sebagai alat kita menuju tujuan yang telah dicanangkan jauh sebelum kita berproses yaitu  masyarakat sejahtera yang berkemakmuran dan berkeadilan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tangguh. Suatu cita-cita luhur yang diamanatkan oleh pendiri bangsa ini sebenarnya bukanlah hal yang terlalu sulit untuk diraih jika para wakil rakyat, pemerintah hasil Pemilu bergandengan tangan bekerja secara bersama-sama memegang dan menjalankan amanat Undang-undang demi orang banyak, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat. Mereka harus mau dan mampu menyadari diri bahwa jabatan itu sebagai alat interaksi sebuah proses menata hidup orang lain. Jabatan bukan kesempatan untuk melipatgandakan kekayaan.
Jadi, kita tak perlu lagi terperangah terhadap definisi tentang demokrasi karena zaman terlampau jauh meninggalkan kita. Aplikasi nyata adalah kebutuhan rakyat bukan teori retorika. Antusias rakyat menuju tempat pemungutan suara (TPS) yang mengawali proses berdemokrasi (dari dan oleh) harus dijamu mahal melalui aksi nyata (bukan janji dusta). Tanggal 9 April 2014 KPU menyodorkan waktu untuk menutup halaman lama dan sekaligus membalik lembaran  baru apakah rakyat masih berteman dengan keluhan ataukah dia akan tertawa terkekeh-kekeh? Jawabannya tidak ada di sini dan bukan pula ada di sana, tapi jawaban itu tertanam dalam nurani siapa nantinya yang akan terpilih.
                                                                                Penulis adalah Guru SMA 1 Batukliang
                                                                                                Lombok tengah.